Selasa, 24 April 2012

Tiga Prinsip Hidup Bermasyarakat


Sesungguhnya Allah menyuruh berlaku adil dan berbuat ihsan, serta memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (QS. An-Nahl: 90).
Ayat ini pasti akrab di telinga kita karena biasa dibaca khatib saat mengakhiri khutbah Jumat. Yang menarik, kalimat perintah di ayat ini tidak berbentuk “ya’murukum” (memerintah kalian), tapi “ya’muru” (memerintah) sehingga ayat ini dipahami sebagai ayat universal yang mengikat seluruh hamba Allah tanpa ada atibut golongan, ideologi, suku bangsa, dan pembatasan lainnya. Jadi, ayat ini berbicara kepada fitrah manusia yang suka pada kebaikan dan membenci perilaku buruk.
Tak heran jika ayat ini begitu menyentuh Utsman bin Madh’un yang pada awalnya memeluk Islam hanya karena malu dengan Rasulullah saw. Namun ketika menyaksikan ayat ini turun, ia merasakan kekuatan iman menembus ke dalam hatinya dan meyakini bahwa prinsip-prinsip hidup yang ditawarkan Islam bagi kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, bahkan berbangsa dan bernegara, begitu agung dan sempurna.
Abdullah bin Abbas bercerita, “Ketika Rasulullah saw. sedang duduk di halaman rumahnya, tiba-tiba Utsman bin Madh’un melintas. Maka Rasulullah memanggilnya dan mengajaknya duduk bersama. Namun ketika sedang berlangsung pembicaraan di antara keduanya, tiba-tiba Rasulullah menengadahkan pandangannya ke langit beberapa saat, kemudian menundukkan kepalanya dan bergeser dari tempat duduknya ke sebelah kanan. Beliau menganggukkan kepala seakan-akan mengiyakan apa yang disampaikan kepadanya. Selang beberapa saat, beliau kembali mengangkat pandangannya ke langit seperti yang terjadi pada kali pertama, lantas beliau kembali ke tempat duduknya di samping Utsman bin Madh’un.”

Maka melihat kejadian yang tidak biasa tersebut, Utsman bertanya kepada Rasulullah saw., “Hai Muhammad, kenapa aku melihat engkau tadi mengangkat pandanganmu ke langit dan mengangguk-anggukan kepala seakan-akan mengiayakan sesuatu dan engkau bergeser menjauh dariku?” Rasulullah balik bertanya, “Apakah engkau tadi memperhatikan apa yang terjadi?” Utsman menjawab singkat, “Ya.” Rasulullah berkata, “Telah datang kepadaku tadi seorang utusan Allah.” Dengan nada terkejut Utsman bertanya, “Seorang utusan Allah?” Rasulullah menjawab, “Benar.” Utsman bertanya lagi, “Apakah yang ia sampaikan kepadamu?” Rasulullah menjelaskan, “Ia datang membawa wahyu kepadaku.” Lantas Rasulullah membacakan surah An-Nahl ayat 90.
Setelah kejadian itu, Utsman bin Madh’un membacakan ayat itu kepada Al-Walid bin Al-Mughirah, seorang yang sangat piawai dalam bidang sastra di kalangan orang-orang Arab pada masa itu. Mendengar ayat tersebut, spontan lisannya berucap pernyataan yang memeranjatkan para pemuka Quraisy yang hadir, “Demi Allah, sungguh Al-Qur’an ini memiliki kelezatan dan keindahan. Di atasnya berbuah dan di bawahnya berakar, dan ini bukanlah kata-kata manusia”. Bahkan Al-Walid meminta Utsman untuk mengulangi bacaan ayat tersebut. Subhanallah!
Ayat itu berisi tentang tiga prinsip yang ditawarkan Al-Qur’an agar dijadikan landasan dalam menata sebuah masyarakat. Ketiga prinsip itu adalah keadilanihsan, dan takaful. Ketiganya jika diaplikasikan akan membendung perilaku al-fahsya’ (segala perbuatan yang didasarkan pada pemenuhan hawa nafsu, seperti zina dan mabuk-mabukan), al-munkar(perbuatan buruk yang bertentangan dengan akal sehat, seperti mencuri, merampok, dan tindakan aniaya lainnya), dan al-baghyu (tindakan yang mengarah kepada permusuhan, seperti kezaliman dan tindakan sewenang-wenang).
Ketiga aktivitas merusak itu merupakan penyakit yang senantiasa merongrong keutuhan dan eksistensi masyarakat. Sebuah masyarakat tidak mungkin bisa tegak di atas perilaku kekejian, kemungkaran, dan permusuhan. Demikian juga, sebuah masyarakat yang telah terjangkiti perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan dengan segala ragam bentuknya, tidak akan mungkin bangkit dari keterpurukan dan akan senantiasa berada dalam kesengsaraan.
Karena itu, melalui ayat ini Allah memerintahkan siapapun kita untuk menjunjung tinggi nilai keadilan dalam semua urusan dan bersikap ihsan dalam setiap perbuatan. Maka tak heran jika ayat ini dijadikan dalil kewajiban syariat bagi umat Islam untuk berlaku adil dan bersikap ihsan.
Konsep adil dan ihsan adalah dua prinsip yang harus dilaksanakan secara bersamaan. Karena, sikap adil hanya akan membawa kepada keselamatan. Misalnya, dalam aktivitas bisnis, adil hanya mengembalikan modal. Sedangkan sikap ihsanlah yang akan memberikan kemenangan dan kebahagiaan dalam bentuk keuntungan yang lebih dari sekedar kembali modal. Sehingga, seorang tidak boleh cukup berpuas hati hanya melaksanakan adil tanpa dibarengi dengan ihsan. Itulah hikmah Allah menggandengkan kedua sikap itu. Bahkan, Allah memuji orang-orang yang sikap ihsan. “Sesungguhnya mereka yang beriman dan beramal saleh, tentulah Kami tidak akan menyia-nyiakan pahala orang-orang yang mengerjakan amalan(nya) dengan ihsan.” (QS. Al-Kahfi: 30). “Dan berbuat ihsanlah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat ihsan kepadamu.” (Al-Qashash: 77)
Maka, menjadi jelas bagi kita bahwa Al-Qur’an datang dengan membawa mabadi’ (prinsip-prinsip) yang akan menguatkan simpul-simpul yang terjalin di dalam sebuah masyarakat dan akan menjadi penenang bagi setiap individu, umat, dan bangsa dalam mengarungi kehidupan. Prinsip keadilan adalah kaidah yang baku dalam pergaulan sehari-hari, sedangkan prinsip ihsan untuk melembutkan ketajaman keadilan yang solid. Karena kata ihsan lebih luas penunjukannya, maka ihsan mencakup seluruh sendi-sendi kehidupan mulai dari hubungan seorang hamba dengan Tuhannya, hubungan dengan keluarganya, masyarakatnya, dan dengan kemanusiaan dalam arti yang luas.
Sedangkan kalimat “ita’idzil qurba” (memberi kepada kaum kerabat) setelah adil dan ihsan dalam ayat di atas, adalah bentuk konkret perbuatan ihsan. Penyebutan khusus kalimat ini adalah ta’dzim (penghargaan) terhadap bentuk hubungan kerabatan dan sebagai ta’kid(penegasan) bahwa konsep ihsan bisa dilakukan secara bertahap, mulai dari lingkup yang paling dekat (baca: keluarga) sampai ke skup yang jauh yang meliputi seluruh anggota masyarakat.
Sayangnya, ketiga prinsip ini –keadilanihsan, dan takaful-kita rasakan semakin tipis di bangunan struktur masyarakat kita. Sedangkan tiga kekuatan penghancur –kekejian, kemungkaran, dan permusuhan– justru semakin menunjukkan eksistensinya dalam ragam bentuk dan kemasannya. Cukuplah ayat ini menjadi pengingat agar kita segera kembali ke rel yang sebenarnya, menegakkan prinsip-prinsip hidup bermasyarakat yang diperintahkan Allah agar fitrah kita sebagai manusia tidak hilang. Jangan sampai masyarakat kita tidak bisa lagi dibedakan dari segerombolan srigala yang saling memangsa sesamanya. “Dia (Allah) memberi pengajaran kepadamu (dengan ayat ini) agar kamu dapat mengambil pelajaran.
Share:

0 komentar:

Posting Komentar